Subscribe:

Ads 468x60px




WELLPAPER

Kamis, 19 Agustus 2010


Minggu, 08 Agustus 2010

Seorang ulama yang pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts wal Ifta’ (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) yaitu Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz pernah ditanya:

“Apakah ada amalan-amalan khusus yang disyariatkan untuk menyambut bulan Ramadhan?”

Syaikh –rahimahullah- menjawab:

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling utama dalam setahun. Karena pada bulan tersebut Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan amalan puasa sebagai suatu kewajiban dan menjadikannya sebagai salah satu rukun Islam yaitu rukun Islam yang keempat. Umat islam pada bulan tersebut disyariatkan untuk menghidupkannya dengan berbagai amalan.

Mengenai wajibnya puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ ، وَحَجِّ البَيْتِ

”Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 8 dalam Al Iman, Bab “Islam dibangun atas lima perkara”, dan Muslim no. 16 dalam Al Imam, Bab “Rukun-rukun Islam”)
Nabi ‘alaihimush shalaatu was salaam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ



“Barangsiapa melakukan puasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2014 dalam Shalat Tarawih, Bab “Keutamaan Lailatul Qadr”, dan Muslim no. 760 dalam Shalat Musafir dan Qasharnya, Bab “Motivasi Qiyam Ramadhan”)

Aku tidak mengetahui ada amalan tertentu untuk menyambut bulan Ramadhan selain seorang muslim menyambutnya dengan bergembira, senang dan penuh suka cita serta bersyukur kepada Allah karena sudah berjumpa kembali dengan bulan Ramadhan. Semoga Allah memberi taufik dan menjadikan kita termasuk orang yang menghidupkan Ramadhan dengan berlomba-lomba dalam melakukan amalan shalih.

Berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan sungguh merupakan nikmat besar dari Allah. OIeh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memberikan kabar gembira kepada para sahabat karena datangnya bulan ini. Beliau menjelaskan keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan dan janji-janji indah berupa pahala yang melimpah bagi orang yang berpuasa dan menghidupkannya.

Disyariatkan bagi seorang muslim untuk menyambut bulan Ramadhan yang mulia dengan melakukan taubat nashuhah (taubat yang sesungguhnya), mempersiapkan diri dalam puasa dan menghidupkan bulan tersebut dengan niat yang tulus dan tekad yang murni.”

[Pertanyaan di Majalah Ad Da’wah, 1284, 5/11/1411 H. Sumber : Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/9-10]

***
Demikian penjelasan dari Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah-. Dari penjelasan singkat di atas dapat kita ambil pelajaran bahwa tidak ada amalan-amalan khusus untuk menyambut bulan Ramadhan selain bergembira dalam menyambutnya, melakukan taubat nashuhah, dan melakukan persiapan untuk berpuasa serta bertekad menghidupkan bulan tersebut.

Oleh karena itu, tidaklah tepat ada yang meyakini bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.

Juga tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!

Begitu pula dengan maaf memaafkan menjelang ramadhan, ini pun suatu amalan yang tidak tepat. Karena maaf memaafkan boleh kapan saja. Lantas mengapa dikhususkan menjelang Ramadhan? Apa dasarnya?

Semoga dengan bertambahnya ilmu, kita semakin baik dalam beramal. Semoga Allah selalu memberikan kita ilmu yang bermanfaat, memberikan kita rizki yang thoyib dan memberi kita petunjuk untuk beramal sesuai tuntunan.

Selasa, 03 Agustus 2010

Makna Dan Hakekat Tawakal

Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’ yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984 : 1687). Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah SWT.

Sedangkan dari segi istilahnya, tawakal didefinisikan oleh beberapa ulama salaf, yang sesungguhnya memiliki muara yang sama. Diantara definisi mereka adalah:

1. Menurut Imam Ahmad bin Hambal.

Tawakal merupakan aktivias hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan. (Al-Jauzi/ Tahdzib Madarijis Salikin, tt : 337)

2. Ibnu Qoyim al-Jauzi

“Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah (baca; penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya…, dengan tetap melaksanakan ‘sebab-sebab’ (baca ; faktor-faktor yang mengarakhkannya pada sesuatu yang dicarinya) serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.” (Al-Jauzi/ Arruh fi Kalam ala Arwahil Amwat wal Ahya’ bidalail minal Kitab was Sunnah, 1975 : 254)


Sebagian ulama salafuna shaleh lainnya memberikan komentar beragam mengenai pernak pernik takawal, diantaranya adalah ungkapan : Jika dikatakan bahwa Dinul Islam secara umum meliputi dua aspek; yaitu al-isti’anah (meminta pertolongan Allah) dan al-inabah (taubat kepada Allah), maka tawakal merupakan setengah dari komponen Dinul Islam. Karena tawakal merupakan repleksi dari al-isti’anah (meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT) : Seseorang yang hanya meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah, menyandarkan dirinya hanya kepada-Nya, maka pada hakekatnya ia bertawakal kepada Allah.

Salafus saleh lainnya, Sahl bin Abdillah al-Tasattiri juga mengemukakan bahwa ‘ilmu merupakan jalan menuju penghambaan kepada Allah. Penghambaan merupakan jalan menuju kewara’an (sifat menjauhkan diri dari segala kemaksiatan). Kewaraan merupakan jalan mmenuju pada kezuhudan. Dan kezuhudan merupakan jalan menuju pada ketawakalan. (Al-Jauzi, tt : 336)

Tawakal merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan dalam Islam. Oleh karena itulah, kita dapat melihat, banyak sekali ayat-ayat ataupun hadits-hadits yang memiliki muatan mengenai tawakal kepada Allah SWT. Demikian juga para salafus shaleh, juga sangat memperhatikan masalah ini. Sehingga mereka memiliki ungkapan-ungkapan khusus mengenai tawakal.Sudah lama orang menyadari bahwa tidak setiap keinginan selalu terkabul. Namun yang penting dipahami, tak terkabulnya harapan dan cita-cita bukanlah akhir dari segalanya. Malah barangkali, keadaan itu merupakan langkah awal yang perlu diperjuangkan secara lebih keras lagi, hingga mencapai keberhasilan yang sempurna. Bukan keberhasilan yang prematur, yang sama sekali tidak sempurna. Karena bila keadaan yang terakhir ini terjadi, maka kesuksesan yang dicapai tidak lebih sekadar kesuksesan semu. Tidak memiliki fundamen dasar yang kokoh, hingga mudah runtuh ke dalam jurang kekecewaan yang dalam. Dan, mungkin membutuhkan waktu relatif lama untuk dapat bangkit kembali.

Bila kita sepakat dengan pernyataan di atas, hal itu menegaskan bahwa kita telah sependapat pula untuk menyatakan, di samping memiliki rasa optimisme, seseorang wajib pula memiliki kesabaran. Demi pencapaian harapan dan cita-cita yang ditetapkan, seseorang tidak dapat mengabaikan begitu saja tentang perlunya kemampuan untuk pengendalian diri, pengendalian emosi, serta pengendalian dorongan impuls lain yang negatif. Dan, itu semua butuh kesabaran hati. Sabar adalah sinar yang cahayanya jauh lebih kuat daripada hal lain. Karena menurut Husaini A. Madjid Hasyim dalam kitabnya (Riyadhus Shalihin , tanpa tahun), bahwa salat, sedekah, berpikir dan bersyukur itu belum sempurna kalau tidak ada kesabaran.

Adanya rasa kesabaran biasanya berjalan seiring dengan rasa tawakal, yakni kepasrahan diri tentang keberhasilan yang akan dicapai individu itu setelah melakukan berbagai ikhtiar dan usaha. Singkatnya, guna mencapai suatu keberhasilan yang optimum seseorang harus menguasai 3 (tiga) hal, yakni adanya keyakinan, kesabaran, dan tawakal atas apa-apa yang diharapkan dan dicita-citakannya. Sebab tanpa keyakinan, orang tidak akan memiliki optimisme untuk terus berjalan ke depan. Tanpa kesabaran, orang cenderung akan mengambil jalan pintas guna meraih apa yang dicitakannya. Dan, tanpa rasa tawakal, orang bakal menghadapi guncangan besar bilamana ternyata mengenai apa-apa yang didambakannya itu ternyata tidak dapat terrealisasikan.

Perhatikan nasihat yang dicuplik dari kita suci berikut ini:

“Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan mengerjakan salat, karena sesungguhnya Allah bersama-sama orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Baqarah 153). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka tawakallah kepada Allah (Q.S. At-Thalaq, 63:3). Dan, barangsiapa yang tawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupi (keperluannya) (Q.S. Al-Anfal, Q.S. 8:2).

Namun, kebanyakan orang masih salah dalam memberikan tafsiran mengenai apa yang dimaksudkan dengan sabar dan rasa tawakal. Bahkan secara ekstrem ada pendapat yang memahami bahwa kesabaran itu, seperti dilakukan orang-orang yang merenungi nasib dengan berdiam diri. Tidak bertindak apa-apa. Senantiasa menunggu keajaiban dari langit. Padahal yang dimaksudkan dengan kesabaran adalah bersikap menahan diri maupun emosi dari tindakan-tindakan negatif, seperti halnya mengambil jalan pintas, menerobos antrean, melakukan KKN (korupsi, kolusi, dan nepostisme), dan seterusnya.

Itulah sebabnya sebelum bersikap sabar, seseorang diharuskan berikhtiar terlebih dulu, yakni menggenapi usahanya guna mencapai keberhasilan. Baru setelah itu ia diwajibkan bersabar dan bertawakal. Menurut buku Dr. Schindler berjudul How to Live 365 Days a Year, seperti dikutip oleh David J. Schwartz, bahwa tiga dari empat ranjang di rumah sakit diisi oleh orang yang mengidap Emotionally Induced Illnes atau penyakit yang disebabkan emosi.

Sabar itu tidak ada batasnya. Sehingga bila mengalami kesalahan (error), ia wajib memperbaiki kesalahan itu dan terus bersikap sabar terhadap hasil akhirnya. Demikian seterusnya, dengan diiringi rasa tawakal. Jadi, adalah keliru adanya pendapat yang menyatakan, kesabaran itu ada batasnya. Maka, bila sesuatu telah melewati batas kesabaran seseorang memiliki alasan pembenar dan diperkenankan untuk bertindak tidak sabar. Menurut kata bijak, kemenangan kita yang paling besar bukanlah karena kita tidak pernah jatuh, melainkan karena kita mampu bangkit setelah jatuh.

Lakukanlah hal-hal yang menakutkan dan teruslah melakukannya. Itu adalah cara paling tepat dan paling pasti yang pernah ditemukan orang untuk menaklukkan kecemasan. Pribadi orang sukses senantiasa memahami bahwasanya kita mampu menaklukkan apa saja yang tengah dihadapi. Landasannya, positive thingking. Sebab bila tidak demikian, kita sendirilah yang bakal ditaklukkan keadaan.

Adalah lebih penting melakukan yang benar daripada melakukan dengan benar. Karena yang terakhir ini bisa saja terjadi mengenai perbuatan yang tidak benar, namun secara teknis operasional kita telah melakukannya dengan benar. Tak dapat dipungkiri bahwa jiwa manusia akan tergadaikan menurut apa yang telah diperbuatnya. Jika jatuh cinta, misalnya, maka tentu jiwa kita akan senantiasa menuruti apa pun kemauan dari rasa cinta itu sendiri. Bahkan nyaris, kita dapat dinyatakan tak lagi memiliki subyektifitas diri. Selalu dan akan selalu berupaya mengabulkan permintaan sang kekasih. Apa pun risikonya! Benarlah nasihat yang dicuplik dari kita suci berikut ini: “Setiap diri manusia itu tergadai (terikat) oleh apa yang diperbuat atau diusahakannya” (Q.S. Al-Mudatsir: 38).

Sabar dan tawakal adalah dua kata yang mudah diucapkan, namun perlu perjuangan keras untuk mewujudkannya. Karena kedua kata itu merupakan kunci keberhasilan bagi pribadi yang sukses. Tidak semua orang mampu bertindak demikian. Grafitasi kekuatan untuk tidak sabar laksana gaya tarik bumi yang membetot ekor pesawat ulang-alik dari dorongan roketnya untuk mampu menembus atmosfir bumi. Dibutuhkan kekuatan yang luar biasa untuk bersabar, sebelum akhirnya dengan mudah dapat menjelajahi wilayah angkasa luar tanpa membutuhkan kekuatan yang besar. Artinya, dengan mampu membiasakan diri berbuat sabar dan tawakal, maka pribadi yang demikian tidak akan mengalami kesulitan lagi.